your agriculture

Minggu, 31 Oktober 2010

Hukum Orang yang Meninggalkan Sholat

Pembicaraan tentang hukum orang yang meninggalkan sholat tidak keluar dari dua permasalahan. Pertama, para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang meninggalkan sholat dalam keadaan mengingkari dan menentang akan kewajibannya adalah kafir dan keluar dari agama Islam. Kedua, perselisihan para ulama terjadi pada hokum orang yang meniggalkan sholat karena bermalas-malasan dan menyibukkan diri dengan selainnya tanpa memiliki udzur, tetapi masih meyakini tentang kewajibannya (sholat).

Maka dalam hal ini, sebagian ulam ada yang mengkafirkannya, diantaranya Imam Ahmad, Ibnul Mubarok, dan yang lainnya. Demikian pula sebelumnya dari kalangan para sahabat Umar Ibnul Khoththob, Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya. Berdalil dengan hadist Jabir, “Pembeda antara seseorang dengan kekafiran ialah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim) dan yang berdalil juga dengan atsar Abdullah Ibnu Syaqiq, ia berkata, “Mereka para sahabat tidak melihat satu amalan pun yang apabila ditinggalkannya menyebabkan kafir selain sholat”.

Adapun pendapat yang lainnya, tidak mengkafirkannya, akan tetapi menghukuminya dengan fasiq. Dan ini pendapat jumhur salaf dan kholaf, diantaranya Imam Malik, Asy Syafi’I, dan Abu Hanifah. Berdalil dengan ayat, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selainnya bagi yang dikehendaki-Nya.” Dan berdalil dengan hadist-hadist, diantaranya hadist yang dishahihkan oleh Imam Al Albani dalam Jaami’, bahwa Allah mewajibkan atas hambanya shalat lima waktu, barangsiapa yang melaksanakannya maka Allah memiliki janji untuknya yakni akan dimasukkan ke dalam jannah dan jika sebaliknya maka Allah tidak memilki janji untuknya. Jika Dia (Allah) berkehendak akan mengadzabnya, dan jika Dia berkehendak akan memasukkannya ke dalam jannah.

Jumhur ulama mentafsirkan pernyataan “kufur” yang terdapat dalam hadist-hadist tentang orang-orang yang meniggalkan shalat adalah kufur amali yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama selama dia meninggalkannya karena bermalas-malas dan bukan karena menentang hukum wajibnya.

Wal ‘ilmu indallah

Antara Jujur, Amanat, dan Khianat

Akhlak yang tinggi, pondasi segala keutamaan, dengannyalah roda kehidupan akan lurus dan berjalan dengan lancer, sungguh kejujuran akan mengangkat derajat pelakunya disisi Allah SWT dan di tengah-tengah manusia, maka dengan itu Allah SWT memerintahkan untuk bersama orang-orang jujur. Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (QS. At-Taubah : 119). Nabi Saw bersabda, “Hendaklah kalian jujur, karena kejujuran akan menghantarkan kepada kebaikan dan kebaikan akan menghantarkan ke surga” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a), hendaklah kita bersikap jujur dalam ucapan, keyakinan dan amalan.

Jika kejujuran sebagai pondasi segala keutamaan, maka kedustaan adalah pondasi segala kerusakan, bangunan kehidupan akan hancur dan berantakan karenanya, si pelakunya pun terhina di hadapan Allah SWT dan di mata manusia. Tidak sedikit di dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang mengandung ancaman keras terhadap kedustaan, seperti Firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung, (itu adalah)kesenangan yang sedikit dan bagi mereka azab yang pedih” (QS. An-Nahl : 116 - 117). Nabi Saw mengatakan bahwa kedustaan menghantarkan kepada kedurhakaan, sedangkan kedurhakaan tempatnya di neraka. Allah SWT berfirman “Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar dalam neraka, mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan” (QS. Al-Infithaar : 14 - 15)

Kedustaan juga merupakan landasan kemunafikan. Allah SWT berfirman “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata? Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah. Dan Allah SWT mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu pendusta, mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai lalu mereka menghalangi (manusia)dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan” (QS. Al-Munafiquun : 1 - 2).

Sedangkan amanat adalah amalan yang Allah percakan seluruh hamba padanya, ruang lingkup amanat ini sangatlah luas mencakup atas amanat terhadap apa yang dipercayakan orang lain, amanat dalam hal ilmu dan amalan serta mencakup atas amanat terhadap seluruh urusan-urusan agama, adapun khianat adalah kebalikan daripada amanat, ia adalah sejelek-jelek akhlaq, salah satu dari sifat-sifat kemunafikan, oleh karena itu maka Allah melarangnya dalam Al-Qur’an. Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfaal : 27).

Maka, semua apa yang telah disampaikan oleh para nabi dari perkara aqidah, syariat adalah amanat di pundaknya para ulama, jika mereka mengurangi dalam hal penyampaian dan penyebarannya, ini adalh berarti kedustaan dan pengkhianatan dari mereka. Allah SWT berfirman “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah kami menerangkan-nya kepad manusia dalam A-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati” (QS. Al-Baqarah : 159). Sudah seyogyanya bagi para pembawa ilmu menyampaikan apa yang datang dari penutup para nabi- Rasulullah Saw dengan benar, karena hal ini adalah merupakan kejujuran yang paling besar, sedangkan menutup-nutupinya adalah kecurangan dan pengkhianatan yang besar, Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya khianatnya seseorang diantara kalian dalam hal ilmunya lebih besar daripada khianatnya dalam hartanya” (HR. Thabrany dari Ibnu Abbas r.a)

Jumat, 29 Oktober 2010

Mengatasnamakan Allah SWT tanpa Ilmu Merupakan Pangkal Kerusakan

Mengatasnamakan Allah SWT tanpa ilmu merupakan salah satu dari jebakan-jebakan syaitan dan Qarin (gandengan) kesyirikan kepada Allah SWT, bahkan termasuk hal yang sangat diharamkan dan paling besar dosanya. Oleh karena itu, ia disebut pada peringkat keempat dalam daftar muharramat (hal-hal yang diharamkan) yang disepakati oleh seluruh syariat dan agama. Ia tidak boleh dalam kondisi apa pun, bahkan diharamkan. Hukumnya bukan seperti bangkai, darah dan daging babi yang dibolehkan dalam suatu kondisi tertentu.

Sesungguhnya muharramat itu terdiri atas dua jenis: pertama, yang diharamkan karena zatnya. Hal ini sama sekali dan dalam kondisi apa pun tidak dibolehkan. Kedua, yang diharamkan dalam suatu kondisi dan tidak pada kondisi yang lain.

Mengenai jenis yang pertama, Allah SWT berfirman, artinya, “Katakanlah, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. (Q.S al-‘Araf: 33). Kemudian berpindah kepada yang lebih besar dari itu, “Dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.” Kemudian berpindah kepada yang lebih besar lagi dari hal tersebut, “(Mengharamkan) mengatasnamakan Allah tentang apa saja yang tidak kamu ketahui.” Itu adalah muharramat yang paling besar di sisi Allah SWT, menisbatkan kepadaNya sesuatu yang tidak layak bagiNya, menafikan apa yang telah ditetapkanNya, menetapkan apa yang telah dinafikanNya, merealisasikan apa yang telah dibatalkanNya, membatalkan apa yang telah direalisasikanNya, memusuhi orang yang dilindungiNya, loyal terhadap orang dimusuhiNya, mencintai apa yang dibenciNya, membenci apa yang dicintaiNya, dan menyebutNya dengan hal yang tidak layak bagiNya, baik terhadap DzatNya, Sifat, Perkataan atau PerbuatanNya.

Dalam jenis-jenis muharramat, tidak ada yang lebih besar dan keras dosanya di sisi Allah SWT dibanding hal itu (mengatasnamakan Allah SWT tanpa ilmu). Ia adalah pangkal kesyirikan dan kekufuran. Di atasnyalah segala macam bid’ah dan kesesatan dibangun. Setiap bid’ah menyesatkan, pangkalnya adalah mengatasnamakan Allah SWT tanpa ilmu. Karenanya, para ulama Salaf dan para imam terkemuka sangat mengingkarinya, mengampanyekan anti terhadap para pelakunya di seluruh penjuru bumi, memperingatkan dengan keras atas fitnah yang mereka buat. Para ulama Salaf bahkan bersikap ekstra dalam hal itu melebihi pengingkaran mereka terhadap perbuatan-perbuatan keji, kedzaliman dan pelanggaran lainnya, sebab bahaya yang ditimbulkan bid’ah, penghancuran yang diakibatkannya dan penentangannya terhadap agama ini sangat dahsyat.

Allah SWT mengingkari orang yang menisbatkan halal atau haramnya sesuatu kepada dienNya tanpa dalil dan hujjah dariNya, sebagaimana firmanNya, artinya, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.” (Q.S an-Nahl: 16). Nah, bila demikian halnya, maka apalah lagi dengan yang menisbatkan kepadaNya sesuatu yang Dia SWT menisbatkannya kepada diriNya?

Sebagaimana ulama salaf berkata, “Berhati-hatilah salah seorang diantara kamu untuk mengatakan, “Allah telah menghalalkan begini, Allah mengharamkan begitu,” lalu Allah SWT berkata kepadanya, “Kamu telah berdusta, Aku tidak pernah menghalalkan ini dan tidak pernah mengharamkan itu.” Maksudnya, menghalalkan dan mengharamkan dengan menggunakan pendapat akal semata, tanpa dalil dari Allah SWT dan RasulNya.

Pangkal Kesyirikan dan Kekufuran

Pangkal kesyirikan dan kekufuran adalah mengatasnamakan Allah SWT tanpa ilmu, sebab orang musyrik mengklaim, bahwa orang yang dijadikannya sebagai sesembahan selain Allah SWT akan mendekatkannya kepada Allah SWT, memintakan pertolongan untuknya di sisNya dan memenuhi kebutuhannya melalui perantaraannya, sebagaimana posisi para perantara di sisi para raja. Setiap musyrik mengatasnamakan Allah SWT tanpa ilmu, bukan sebaliknya. Sebab mengatasnamakan Allah SWT tanpa ilmu terkadang mengandung Ta’thil (pembatalan terhadap sifat Allah SWT) dan Ibtida’ (mengada / bid’ah) dalam agama ini. Ia lebih umum dari kesyirikan. Dan kesyirikan merupakan salah satu dari cabang / bagiannya.

Oleh karena itu, kedustaan atas nama Rasulullah SAW, dapat memastikan pelakunya masuk neraka. Kedustaan atas nama Rasulullah SAW itu mengandung sikap mengatasnamakan Allah SWT tanpa ilmu, sama seperti kedustaan secara terang-terangan terhadapNya. Apa yang dilekatkan kepada Rasulullah SAW, maka itu artinya dilekatkan pula kepada Pengutusnya (yaitu Allahh SWT), dan mengatasnamakan Allah SWT tanpa ilmu merupakan kedustaan yang terang-terangan terhadapNya. Allah SWT berfirman, artinya, “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah.” (Q.S al-An’am)

Semua dosa-dosa para pelaku bid’ah masuk dalam kategori jenis ini, dan bertaubat darinya tidak akan terealisasi kecuali dengan bertaubat dari perbuatan-perbuatan bid’ah. Akan tetapi, bagaimana akan bertaubat darinya orang yang tidak mengetahui bahwa ia adalah bid’ah dan mengiranya sunnah, saat bersamaan ia mengajak dan menganjurkan orang lain kepadanya? Dengan kondisi seperti ini, maka dosa yang seharusnya ia wajib bertaubat darinya akan hilang, kecuali dangan cara memperdalam sunnah dan selalu membahas dan mencarinya. Akan tetapi, kita jarang melihat pelaku bid’ah seperti itu.

Sesungguhnya sunnah itu sendiri menyingkirkan bid’ah dan tidak menghormatinya. Bila ‘matahari’ sunnah berada di hati seorang hamba, maka ia dapat memutus dari hatinya sisi setiap bid’ah dan menghilangkan kegelapannya. Sebab kegelapan tidak memiliki kekuatan di hadapan kekuatan matahari. Seorang hamba tidak dapat melihat perbedaan antara sunnah dan bid’ah dan membantunya keluar dari kegelapan bid’ah kepada cahaya sunnah selain dengan cara mengikuti (mutaba’ah), hijrah dengan hatinya setiap waktu kepada Allah SWT dengan meminta pertolongan, ikhlas dan berlindung kepadaNya dengan setulus-tulusnya serta berhijrah kepada Rasulullah SAW dengan semangat untuk menggapai perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, petunjuk dan sunnahnya. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya.” Dan siapa saja yang berhijrah kepada selain itu, maka itulah bagian dan jatahnya di dunia dan akhirat. (Lihat, Tahdzib Madarij as-Salikin, 208-209)

Kita dapat melihat di beberapa majelis ada orang yang bertanya tentang beberapa masalah syariat, lalu muncul seorang awam menjawabnya, padahal ia tidak mengerti apa pun. Lantas ia menghalalkan, mengharamkan dan mengatasnamakan Allah SWT. Sungguh ironis, majelis-majelis seperti ini di dalamnya terkadang ada sebagaian penuntut ilmu namun mereka tidak mau mengubah kemungkaran dan tidak menasehati si jahil itu.

Musibah lainnya juga menimpa sebagian mereka yang mengklaim sebagai penuntut ilmu, yakni syetan berhasil meniupkan di urat lehernya, lalu ia ditanya tentang sejumlah masalah yang ia tidak mengetahuinya. Namun, lantaran dihinggapi penyakit ‘bangga diri’, ia lantas mulai mengeluarkan fatwa dan mengatasnamakan Allah SWT tanpa ilmu. Sungguh ini merupakan bencana dan petaka besar.

Penutup

Di akhir pelajaran ini, kiranya masing-masing kita meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dan berhati-hati dari mengatasnamakan Allah SWT tanpa ilmu dan selalu ingat bahwa hal itu merupakan gandengan kesyirikan, bahkan Ibn al-Qayyim berpendapat bahwa ia adalah lebih besar dari kesyirikan itu sendiri, wallahul musta’an.

Kiat Hidup Penuh Berkah

Bertaqwa kepada Allah SWT.

Allah berfirman, artinya, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf : 96)

Allah juga berfirman, artinya, “ Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-thalaq : 2-3)

2. Membaca Al-Qur’an

Allah SWT berfirman, artinya, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad : 29)

3. Berdoa

Nabi Saw senantiasa memohon berkah kepada Allah SWT dalam berbagai urusan.

4. Jujur dalam bermu’amalah

Rasulullah Saw bersabda, “Penjual dan pembeli masih memiliki hak memilih selama keduanya belum berpisah (dari tempat transaksi). Jika keduanya jujur dan terbuka (menjelaskan jika ada cacat / kekurangan), maka keduanya diberkahi dalam jual beli mereka dan jika keduanya menutup-nutupi dan berdusta, maka lenyaplah berkah jual beli mereka.” (HR. Al-Bukhari)

5. Menyelesaikan pekerjaan di waktu pagi

Rasulullah Saw bersabda, “Semoga Allah SWT memberkahi ummatku pada waktu pagi mereka.” (HR. Ahmad)

6. Mengikuti sunnah Rasul Saw dalam setiap urusan

Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata, “Bahwa Rasulullah Saw memerintahkan agar menjilati jari-jemari dan piring dan beliau berkata, “Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di bagian mana terdapat berkah dari makanan kalian.” (HR. Muslim)

  1. Kesungguhan dalam bertawakkal kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman, artinya,”Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath-thalaq : 3)

Rasulullah Saw juga bersabda, “Kalaulah kalian bertawakkal kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Allah SWT memberikan rizqi kepada kalian sebagaimana Allah SWT memberikan rizqi kepada burung, keluar di pagi hari dalam keadaan lapar pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad)

8. Melakukan shalat istikharah dalam setiap urusan

Pasrah dan menerima apa yang telah Allah SWT tentukan, karena hal tersebut pasti lebih baik untuk dirinya di dunia ataupun akherat.

9. Tidak meminta-minta kepada orang lain

Rasulullah Saw bersabda, “Siapa saja yang memiliki kebutuhan, lalu ia melimpahkan kebutuhannya tersebut kepada orang lain, maka yang lebih pantas adalah tidak dimudahkan kebutuhannya dan barangsiapa yang memasrahkan kebutuhannya kepada Allah SWT niscaya Dia akan mendatangkan kepadanya rizqi dengan segera atau menunda kematiannya.” (HR. Ahmad)

10. Berinfaq dan bersedekah

Allah SWT berfirman, artinya, “Dan apa saja yang kamu infaqkan, niscaya Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang terbaik.” (QS Saba’ : 39)

Di dalam hadits qudsi disebutkan, Allah berfirman, “Wahai anak Adam berinfqlah, niscaya Aku akan menafkahimu.” (HR. Muslim)

11. Menjauhkan diri dari harta yang haram

Firman Allah SWT, artinya, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. Al-Baqarah : 276)

12. Bersyukur dan memuji Allah SWT atas segala pemberian dan nikmat-nikmat-Nya

Allah berfirman, artinya, “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim : 7)

13. Menunaikan shalat fardhu

Allah SWT berfirman, artinya, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikann shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizqi kepadamu. Kamilah yang memberi rizqi kepadamu dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.” (QS. Thaaha : 132)

14. Terus-menerus beristighfar (memohon ampun kepada Allah SWT)

Allah SWT berfirman, artinya, “Maka aku katakan kepada mereka, ‘Beristighfarlah (mohonlah ampun) kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untuk sungai-sungai.” (QS. Nuh : 10-12)